MANTAN Direktur Bakin, A.C. Manullang pada sebuah
media mengatakan, Omar Al-Farouq adalah agen binaan
CIA, yang ditugaskan menyusup, merekrut agen lokal
dari kalangan Islam radikal. Banyak yang
terheran-heran dengan pernyataan itu. Bagaimana
mungkin Al-Farouq yang menikahi Mira Agustina yang
bercadar, putri dari Haris Fadhillah alias Abu Dzar,
panglima perang yang tewas di Ambon belum lama ini,
adalah agen CIA?
Begitulah kenyataannya. Kalangan Islam (pergerakan)
memang amat sangat rentan disusupi. Terutama sejak
dasawarsa pertama Orde Baru. Misalnya, pada kasus
Komando Jihad, yang melibatkan nama Hispran, Adah
Djaelani, Danu M. Hasan, tokoh senior DI-TII atau NII,
yang dipercaya Ali Moertopo melalui ajakan "kerja
sama" menggalang kekuatan untuk mengusir bahaya
komunisme dari Utara (ketika itu Amerika baru saja
kalah perang dengan Vietnam yang komunis).
Kemudian di tahun 1981, kelompok pengajian pimpinan
Imran di Cimahi, Jawa Barat, disusupi Najamuddin, yang
kemudian diidentifikasi sebagai "intel". Orang inilah
yang memprovokasi anak-anak muda itu bertindak
anarkis, menyerang Kantor Polisi Cicendo (Bandung),
bahkan kemudian merancang pembajakan pesawat Garuda
yang terkenal dengan kasus Pembajakan Woyla.
Itu hanya dua contoh yang bisa dikemukakan. Kalau
"intel" lokal saja begitu mudah menyusup ke dalam
Islam pergerakan, tentu lebih mudah lagi bagi intel
luar untuk menyusup. Apalagi sumber daya manusia Islam
pergerakan kebanyakan dari kalangan sosial ekonomi
yang belum kuat, begitu juga dengan kapasitas
intelegensianya yang belum setara, sehingga gerakan
intelligence selalu dihadapi dengan otot dan emosi.
Kelemahan pada dua sektor -sosial ekonomi dan
kapasitas intelegensia -tadi, sebenarnya sudah dapat
dijadikan bukti untuk menunjukkan bahwa tidak ada yang
layak jadi teroris di Indonesia ini. Kalau toh ada,
itu "diciptakan" oleh kekuatan dari luar dirinya.
Partisipannya adalah mereka yang "tidak tahu" atau
"tidak sadar" namun ada juga yang "tahu" dan "sadar"
demi sejumlah imbalan yang sebenarnya tidak patut.
Upaya menciptakan hantu teroris lokal dari kalangan
Islam (pergerakan) merupakan prestasi gemilang rezim
Orde Baru. Bagi rezim Orde Baru --yang lahir setelah
berhasil menjadikan komunisme sebagai hantu sekaligus
ancaman bersama, dan menghabisi aktivis komunis dengan
mengandalkan kekuatan umat Islam-- tidak sulit
menciptakan hantu teroris lokal dari kalangan Islam
(pergerakan).
Memberikan kesan adanya "teroris" lokal seperti itu,
saya alami sendiri. Setiap menuju persidangan (dari
rumah tahanan), aparat mengawal saya secara
berlebihan. Sejumlah alat berat sudah siaga di sekitar
persidangan. Menimbulkan kesan seram. Seolah-olah yang
hadir adalah teroris kelas dunia. Padahal, kami
hanyalah rakyat biasa yang secara amatiran melakukan
peledakan di beberapa kantor BCA, karena marah
terhadap ketidakadilan ekonomi, terutama atas
pembantaian yang terjadi di Tanjung Priok, 12
September 1984.
Prestasi inilah yang berusaha dimanfaatkan oleh CIA
(Central Intelligence Agency) pasca tragedi WTC 911
(World Trade Center 11 September). Lahirnya
tokoh-tokoh semacam Al-Farouq bukanlah hal yang aneh.
Al-Farouq sudah mulai "beroperasi" setidaknya sejak
1999 di Indonesia.
Dari segi nama "asli" yang digunakan Omar Al-Farouq,
yaitu Mahmud bin Ahmad Assegaf, bisa dirasakan adanya
kejanggalan. Bagi keturunan Arab-Indonesia, kombinasi
nama-nama itu sangat tidak lazim. Nampaknya, nama
"asli" itu disiapkan oleh orang Indonesia yang bukan
keturunan Arab, sehingga tidak cermat dalam memilih
kombinasi nama.
Dua dari beberapa pengakuan Al-Farouq sebagaimana
dilansir The Times, adalah keterlibatan Abu Bakar
Ba'asyir pada peledakan Istiqlal (1999) dan Peledakan
pada malam Natal (24 Desember 2000). Rupanya ustadz
Abu Bakar Ba'asyir dan kawan-kawana sudah sejak lama
dijadikan target, untuk dijadikan "hantu teroris
lokal". Setidaknya sejak 1999, menurut Abdul Qadir
Djaelani (anggota DPR RI) pada berbagai media, salah
seorang petinggi berbintang dua pernah berusaha
melakukan pendekatan kepada kawan-kawan Abu Bakar
Ba'sayir yang ketika itu sedang merancang Kongres
Mujahidin di Yogyakarta. Pendekatan itu tidak
berhasil.
Pendekatan kepada kelompok Ba'asyir itu dijalin
(kuartal III 2000), setelah menemui kegagalan dengan
skenario sebelumnya, memunculkan hantu teroris dari
kalangan Islam (pergerakan) yang dianggap radikal.
Di awal 1999, berkeliaran sesosok nama yang
mengaku-ngaku sebagai Kahar Muzakar. Padahal kita
tahu, Kahar sudah wafat sejak lama. Namun sebagian
kalangan mempercayai sosok itu sebagai Kahar.
Kemunculan tokoh itu mengawali lahirnya kasus
Peledakan Plaza Hayamwuruk dan Perampokan BCA
Tamansari, keduanya di Jakarta Barat, pada 15 April
1999 yang dilanjutkan dengan kasus peledakan di
Istiqlal, pada 19 April 1999.
Dari kedua peristiwa itu, mencuatkan nama kelompok
AMIN (Angkatan Mujahidin Islam Nusantara) di Cijeruk,
Bogor. Kawasan Cijeruk tentu sangat mengingatkan kita
kepada sebuah kawasan tempat Omar Al-Farouq ditangkap
aparat pada 5 Juni 2002 lalu.
Adalah harian Republika yang sangat berjasa, karena
merupakan media cetak yang pertama kali mengungkap
sosok "Kahar Muzakar" yang punya nama alias Syamsuri,
melalui pemuatan surat pembaca pada tanggal 27 April
1999. Pemuatan surat pembaca itu, yang kemudian
diikuti oleh banyak media cetak, telah menyurutkan
langkah Syamsuri dan kawan-kawannya. Kedok Syamsuri
yang sedang terbongkar itu, rupanya berusaha
diperbaiki oleh majalah Sabili (No. 12, Th. VIII, 29
November 2000), dengan menurunkan wawancara eksklusif
dengan KH Sulaeman Habib, Mufti Besar RPII-Kahar
Muzakar, salah seorang kawan baik Kahar Muzakar.
Ternyata, Sulaeman Habib sebelum bergabung dengan
pasukan Kahar Muzakar pernah masuk dunia militer di
bagian semi-pionir (tukang rusak).
Belakangan sosok Syamsuri semakin ditelanjangi oleh
Majalah Suara Hidayatullah edisi Januari 2001.
Ternyata, Syamsuri yang biasa dipanggil Kiai, dan
diyakini pengikutnya adalah Kahar Muzakar asli yang
masih hidup, menurut sebuah sumber adalah pensiunan
perwira menengah pada sebuah angkatan.
Meski secara terbuka Syamsuri pernah menyatakan bahwa
dirinya bukanlah Kahar Muzakar, namun KH Sulaiman
Habib dan Qahir (tangan kanan Syamsuri) tetap
bergerilya meyakinkan banyak pihak bahwa Syamsuri
adalah Kahar Muzakar. Nampaknya, setelah gagal
memunculkan sosok Syamsuri (Kahar Muzakar palsu) untuk
dijadikan hantu teroris lokal, diupayakanlah sosok
lainnya yang bisa dijadikan hantu teroris lokal.
Sebagai bagian dari komunitas Islam (pergerakan), saya
berkesimpulan, bahwa tidak ada satu lembaga pun dari
sejumlah lembaga Islam (pergerakan) yang punya
kualifikasi untuk bisa menjalankan aksi terorisme
(professional terorisme). Kalau toh ada aksi teror
yang pernah terjadi dan pelakunya adalah salah satu
dari kelompok Islam (pergerakan) tertentu, menurut
saya, itu terjadi karena ada "kerja sama" dengan
instansi lain yang lebih kuat.
Artinya, mereka dimanfaatkan untuk menjalankan
skenario orang lain. Atau, memang sengaja dilahirkan
untuk menjadi hantu teroris, dalam rangka
menakut-nakuti kita semua. "Oh, seraaam."
media mengatakan, Omar Al-Farouq adalah agen binaan
CIA, yang ditugaskan menyusup, merekrut agen lokal
dari kalangan Islam radikal. Banyak yang
terheran-heran dengan pernyataan itu. Bagaimana
mungkin Al-Farouq yang menikahi Mira Agustina yang
bercadar, putri dari Haris Fadhillah alias Abu Dzar,
panglima perang yang tewas di Ambon belum lama ini,
adalah agen CIA?
Begitulah kenyataannya. Kalangan Islam (pergerakan)
memang amat sangat rentan disusupi. Terutama sejak
dasawarsa pertama Orde Baru. Misalnya, pada kasus
Komando Jihad, yang melibatkan nama Hispran, Adah
Djaelani, Danu M. Hasan, tokoh senior DI-TII atau NII,
yang dipercaya Ali Moertopo melalui ajakan "kerja
sama" menggalang kekuatan untuk mengusir bahaya
komunisme dari Utara (ketika itu Amerika baru saja
kalah perang dengan Vietnam yang komunis).
Kemudian di tahun 1981, kelompok pengajian pimpinan
Imran di Cimahi, Jawa Barat, disusupi Najamuddin, yang
kemudian diidentifikasi sebagai "intel". Orang inilah
yang memprovokasi anak-anak muda itu bertindak
anarkis, menyerang Kantor Polisi Cicendo (Bandung),
bahkan kemudian merancang pembajakan pesawat Garuda
yang terkenal dengan kasus Pembajakan Woyla.
Itu hanya dua contoh yang bisa dikemukakan. Kalau
"intel" lokal saja begitu mudah menyusup ke dalam
Islam pergerakan, tentu lebih mudah lagi bagi intel
luar untuk menyusup. Apalagi sumber daya manusia Islam
pergerakan kebanyakan dari kalangan sosial ekonomi
yang belum kuat, begitu juga dengan kapasitas
intelegensianya yang belum setara, sehingga gerakan
intelligence selalu dihadapi dengan otot dan emosi.
Kelemahan pada dua sektor -sosial ekonomi dan
kapasitas intelegensia -tadi, sebenarnya sudah dapat
dijadikan bukti untuk menunjukkan bahwa tidak ada yang
layak jadi teroris di Indonesia ini. Kalau toh ada,
itu "diciptakan" oleh kekuatan dari luar dirinya.
Partisipannya adalah mereka yang "tidak tahu" atau
"tidak sadar" namun ada juga yang "tahu" dan "sadar"
demi sejumlah imbalan yang sebenarnya tidak patut.
Upaya menciptakan hantu teroris lokal dari kalangan
Islam (pergerakan) merupakan prestasi gemilang rezim
Orde Baru. Bagi rezim Orde Baru --yang lahir setelah
berhasil menjadikan komunisme sebagai hantu sekaligus
ancaman bersama, dan menghabisi aktivis komunis dengan
mengandalkan kekuatan umat Islam-- tidak sulit
menciptakan hantu teroris lokal dari kalangan Islam
(pergerakan).
Memberikan kesan adanya "teroris" lokal seperti itu,
saya alami sendiri. Setiap menuju persidangan (dari
rumah tahanan), aparat mengawal saya secara
berlebihan. Sejumlah alat berat sudah siaga di sekitar
persidangan. Menimbulkan kesan seram. Seolah-olah yang
hadir adalah teroris kelas dunia. Padahal, kami
hanyalah rakyat biasa yang secara amatiran melakukan
peledakan di beberapa kantor BCA, karena marah
terhadap ketidakadilan ekonomi, terutama atas
pembantaian yang terjadi di Tanjung Priok, 12
September 1984.
Prestasi inilah yang berusaha dimanfaatkan oleh CIA
(Central Intelligence Agency) pasca tragedi WTC 911
(World Trade Center 11 September). Lahirnya
tokoh-tokoh semacam Al-Farouq bukanlah hal yang aneh.
Al-Farouq sudah mulai "beroperasi" setidaknya sejak
1999 di Indonesia.
Dari segi nama "asli" yang digunakan Omar Al-Farouq,
yaitu Mahmud bin Ahmad Assegaf, bisa dirasakan adanya
kejanggalan. Bagi keturunan Arab-Indonesia, kombinasi
nama-nama itu sangat tidak lazim. Nampaknya, nama
"asli" itu disiapkan oleh orang Indonesia yang bukan
keturunan Arab, sehingga tidak cermat dalam memilih
kombinasi nama.
Dua dari beberapa pengakuan Al-Farouq sebagaimana
dilansir The Times, adalah keterlibatan Abu Bakar
Ba'asyir pada peledakan Istiqlal (1999) dan Peledakan
pada malam Natal (24 Desember 2000). Rupanya ustadz
Abu Bakar Ba'asyir dan kawan-kawana sudah sejak lama
dijadikan target, untuk dijadikan "hantu teroris
lokal". Setidaknya sejak 1999, menurut Abdul Qadir
Djaelani (anggota DPR RI) pada berbagai media, salah
seorang petinggi berbintang dua pernah berusaha
melakukan pendekatan kepada kawan-kawan Abu Bakar
Ba'sayir yang ketika itu sedang merancang Kongres
Mujahidin di Yogyakarta. Pendekatan itu tidak
berhasil.
Pendekatan kepada kelompok Ba'asyir itu dijalin
(kuartal III 2000), setelah menemui kegagalan dengan
skenario sebelumnya, memunculkan hantu teroris dari
kalangan Islam (pergerakan) yang dianggap radikal.
Di awal 1999, berkeliaran sesosok nama yang
mengaku-ngaku sebagai Kahar Muzakar. Padahal kita
tahu, Kahar sudah wafat sejak lama. Namun sebagian
kalangan mempercayai sosok itu sebagai Kahar.
Kemunculan tokoh itu mengawali lahirnya kasus
Peledakan Plaza Hayamwuruk dan Perampokan BCA
Tamansari, keduanya di Jakarta Barat, pada 15 April
1999 yang dilanjutkan dengan kasus peledakan di
Istiqlal, pada 19 April 1999.
Dari kedua peristiwa itu, mencuatkan nama kelompok
AMIN (Angkatan Mujahidin Islam Nusantara) di Cijeruk,
Bogor. Kawasan Cijeruk tentu sangat mengingatkan kita
kepada sebuah kawasan tempat Omar Al-Farouq ditangkap
aparat pada 5 Juni 2002 lalu.
Adalah harian Republika yang sangat berjasa, karena
merupakan media cetak yang pertama kali mengungkap
sosok "Kahar Muzakar" yang punya nama alias Syamsuri,
melalui pemuatan surat pembaca pada tanggal 27 April
1999. Pemuatan surat pembaca itu, yang kemudian
diikuti oleh banyak media cetak, telah menyurutkan
langkah Syamsuri dan kawan-kawannya. Kedok Syamsuri
yang sedang terbongkar itu, rupanya berusaha
diperbaiki oleh majalah Sabili (No. 12, Th. VIII, 29
November 2000), dengan menurunkan wawancara eksklusif
dengan KH Sulaeman Habib, Mufti Besar RPII-Kahar
Muzakar, salah seorang kawan baik Kahar Muzakar.
Ternyata, Sulaeman Habib sebelum bergabung dengan
pasukan Kahar Muzakar pernah masuk dunia militer di
bagian semi-pionir (tukang rusak).
Belakangan sosok Syamsuri semakin ditelanjangi oleh
Majalah Suara Hidayatullah edisi Januari 2001.
Ternyata, Syamsuri yang biasa dipanggil Kiai, dan
diyakini pengikutnya adalah Kahar Muzakar asli yang
masih hidup, menurut sebuah sumber adalah pensiunan
perwira menengah pada sebuah angkatan.
Meski secara terbuka Syamsuri pernah menyatakan bahwa
dirinya bukanlah Kahar Muzakar, namun KH Sulaiman
Habib dan Qahir (tangan kanan Syamsuri) tetap
bergerilya meyakinkan banyak pihak bahwa Syamsuri
adalah Kahar Muzakar. Nampaknya, setelah gagal
memunculkan sosok Syamsuri (Kahar Muzakar palsu) untuk
dijadikan hantu teroris lokal, diupayakanlah sosok
lainnya yang bisa dijadikan hantu teroris lokal.
Sebagai bagian dari komunitas Islam (pergerakan), saya
berkesimpulan, bahwa tidak ada satu lembaga pun dari
sejumlah lembaga Islam (pergerakan) yang punya
kualifikasi untuk bisa menjalankan aksi terorisme
(professional terorisme). Kalau toh ada aksi teror
yang pernah terjadi dan pelakunya adalah salah satu
dari kelompok Islam (pergerakan) tertentu, menurut
saya, itu terjadi karena ada "kerja sama" dengan
instansi lain yang lebih kuat.
Artinya, mereka dimanfaatkan untuk menjalankan
skenario orang lain. Atau, memang sengaja dilahirkan
untuk menjadi hantu teroris, dalam rangka
menakut-nakuti kita semua. "Oh, seraaam."
Tidak ada komentar:
Posting Komentar