Cari Blog Ini

Selasa, 04 Oktober 2011

aporan aktivitas cia di indonesia dalam gerakan islam sejak jaman orde baru

MANTAN Direktur Bakin, A.C. Manullang pada sebuah

media mengatakan, Omar Al-Farouq adalah agen binaan

CIA, yang ditugaskan menyusup, merekrut agen lokal

dari kalangan Islam radikal. Banyak yang

terheran-heran dengan pernyataan itu. Bagaimana

mungkin Al-Farouq yang menikahi Mira Agustina yang

bercadar, putri dari Haris Fadhillah alias Abu Dzar,

panglima perang yang tewas di Ambon belum lama ini,

adalah agen CIA?


Begitulah kenyataannya. Kalangan Islam (pergerakan)

memang amat sangat rentan disusupi. Terutama sejak

dasawarsa pertama Orde Baru. Misalnya, pada kasus

Komando Jihad, yang melibatkan nama Hispran, Adah

Djaelani, Danu M. Hasan, tokoh senior DI-TII atau NII,

yang dipercaya Ali Moertopo melalui ajakan "kerja

sama" menggalang kekuatan untuk mengusir bahaya

komunisme dari Utara (ketika itu Amerika baru saja

kalah perang dengan Vietnam yang komunis).


Kemudian di tahun 1981, kelompok pengajian pimpinan

Imran di Cimahi, Jawa Barat, disusupi Najamuddin, yang

kemudian diidentifikasi sebagai "intel". Orang inilah

yang memprovokasi anak-anak muda itu bertindak

anarkis, menyerang Kantor Polisi Cicendo (Bandung),

bahkan kemudian merancang pembajakan pesawat Garuda

yang terkenal dengan kasus Pembajakan Woyla.


Itu hanya dua contoh yang bisa dikemukakan. Kalau

"intel" lokal saja begitu mudah menyusup ke dalam

Islam pergerakan, tentu lebih mudah lagi bagi intel

luar untuk menyusup. Apalagi sumber daya manusia Islam

pergerakan kebanyakan dari kalangan sosial ekonomi

yang belum kuat, begitu juga dengan kapasitas

intelegensianya yang belum setara, sehingga gerakan

intelligence selalu dihadapi dengan otot dan emosi.


Kelemahan pada dua sektor -sosial ekonomi dan

kapasitas intelegensia -tadi, sebenarnya sudah dapat

dijadikan bukti untuk menunjukkan bahwa tidak ada yang

layak jadi teroris di Indonesia ini. Kalau toh ada,

itu "diciptakan" oleh kekuatan dari luar dirinya.

Partisipannya adalah mereka yang "tidak tahu" atau

"tidak sadar" namun ada juga yang "tahu" dan "sadar"

demi sejumlah imbalan yang sebenarnya tidak patut.


Upaya menciptakan hantu teroris lokal dari kalangan

Islam (pergerakan) merupakan prestasi gemilang rezim

Orde Baru. Bagi rezim Orde Baru --yang lahir setelah

berhasil menjadikan komunisme sebagai hantu sekaligus

ancaman bersama, dan menghabisi aktivis komunis dengan

mengandalkan kekuatan umat Islam-- tidak sulit

menciptakan hantu teroris lokal dari kalangan Islam

(pergerakan).


Memberikan kesan adanya "teroris" lokal seperti itu,

saya alami sendiri. Setiap menuju persidangan (dari

rumah tahanan), aparat mengawal saya secara

berlebihan. Sejumlah alat berat sudah siaga di sekitar

persidangan. Menimbulkan kesan seram. Seolah-olah yang

hadir adalah teroris kelas dunia. Padahal, kami

hanyalah rakyat biasa yang secara amatiran melakukan

peledakan di beberapa kantor BCA, karena marah

terhadap ketidakadilan ekonomi, terutama atas

pembantaian yang terjadi di Tanjung Priok, 12

September 1984.


Prestasi inilah yang berusaha dimanfaatkan oleh CIA

(Central Intelligence Agency) pasca tragedi WTC 911

(World Trade Center 11 September). Lahirnya

tokoh-tokoh semacam Al-Farouq bukanlah hal yang aneh.

Al-Farouq sudah mulai "beroperasi" setidaknya sejak

1999 di Indonesia.


Dari segi nama "asli" yang digunakan Omar Al-Farouq,

yaitu Mahmud bin Ahmad Assegaf, bisa dirasakan adanya

kejanggalan. Bagi keturunan Arab-Indonesia, kombinasi

nama-nama itu sangat tidak lazim. Nampaknya, nama

"asli" itu disiapkan oleh orang Indonesia yang bukan

keturunan Arab, sehingga tidak cermat dalam memilih

kombinasi nama.


Dua dari beberapa pengakuan Al-Farouq sebagaimana

dilansir The Times, adalah keterlibatan Abu Bakar

Ba'asyir pada peledakan Istiqlal (1999) dan Peledakan

pada malam Natal (24 Desember 2000). Rupanya ustadz

Abu Bakar Ba'asyir dan kawan-kawana sudah sejak lama

dijadikan target, untuk dijadikan "hantu teroris

lokal". Setidaknya sejak 1999, menurut Abdul Qadir

Djaelani (anggota DPR RI) pada berbagai media, salah

seorang petinggi berbintang dua pernah berusaha

melakukan pendekatan kepada kawan-kawan Abu Bakar

Ba'sayir yang ketika itu sedang merancang Kongres

Mujahidin di Yogyakarta. Pendekatan itu tidak

berhasil.


Pendekatan kepada kelompok Ba'asyir itu dijalin

(kuartal III 2000), setelah menemui kegagalan dengan

skenario sebelumnya, memunculkan hantu teroris dari

kalangan Islam (pergerakan) yang dianggap radikal.


Di awal 1999, berkeliaran sesosok nama yang

mengaku-ngaku sebagai Kahar Muzakar. Padahal kita

tahu, Kahar sudah wafat sejak lama. Namun sebagian

kalangan mempercayai sosok itu sebagai Kahar.

Kemunculan tokoh itu mengawali lahirnya kasus

Peledakan Plaza Hayamwuruk dan Perampokan BCA

Tamansari, keduanya di Jakarta Barat, pada 15 April

1999 yang dilanjutkan dengan kasus peledakan di

Istiqlal, pada 19 April 1999.


Dari kedua peristiwa itu, mencuatkan nama kelompok

AMIN (Angkatan Mujahidin Islam Nusantara) di Cijeruk,

Bogor. Kawasan Cijeruk tentu sangat mengingatkan kita

kepada sebuah kawasan tempat Omar Al-Farouq ditangkap

aparat pada 5 Juni 2002 lalu.


Adalah harian Republika yang sangat berjasa, karena

merupakan media cetak yang pertama kali mengungkap

sosok "Kahar Muzakar" yang punya nama alias Syamsuri,

melalui pemuatan surat pembaca pada tanggal 27 April

1999. Pemuatan surat pembaca itu, yang kemudian

diikuti oleh banyak media cetak, telah menyurutkan

langkah Syamsuri dan kawan-kawannya. Kedok Syamsuri

yang sedang terbongkar itu, rupanya berusaha

diperbaiki oleh majalah Sabili (No. 12, Th. VIII, 29

November 2000), dengan menurunkan wawancara eksklusif

dengan KH Sulaeman Habib, Mufti Besar RPII-Kahar

Muzakar, salah seorang kawan baik Kahar Muzakar.

Ternyata, Sulaeman Habib sebelum bergabung dengan

pasukan Kahar Muzakar pernah masuk dunia militer di

bagian semi-pionir (tukang rusak).


Belakangan sosok Syamsuri semakin ditelanjangi oleh

Majalah Suara Hidayatullah edisi Januari 2001.

Ternyata, Syamsuri yang biasa dipanggil Kiai, dan

diyakini pengikutnya adalah Kahar Muzakar asli yang

masih hidup, menurut sebuah sumber adalah pensiunan

perwira menengah pada sebuah angkatan.


Meski secara terbuka Syamsuri pernah menyatakan bahwa

dirinya bukanlah Kahar Muzakar, namun KH Sulaiman

Habib dan Qahir (tangan kanan Syamsuri) tetap

bergerilya meyakinkan banyak pihak bahwa Syamsuri

adalah Kahar Muzakar. Nampaknya, setelah gagal

memunculkan sosok Syamsuri (Kahar Muzakar palsu) untuk

dijadikan hantu teroris lokal, diupayakanlah sosok

lainnya yang bisa dijadikan hantu teroris lokal.


Sebagai bagian dari komunitas Islam (pergerakan), saya

berkesimpulan, bahwa tidak ada satu lembaga pun dari

sejumlah lembaga Islam (pergerakan) yang punya

kualifikasi untuk bisa menjalankan aksi terorisme

(professional terorisme). Kalau toh ada aksi teror

yang pernah terjadi dan pelakunya adalah salah satu

dari kelompok Islam (pergerakan) tertentu, menurut

saya, itu terjadi karena ada "kerja sama" dengan

instansi lain yang lebih kuat.


Artinya, mereka dimanfaatkan untuk menjalankan

skenario orang lain. Atau, memang sengaja dilahirkan

untuk menjadi hantu teroris, dalam rangka

menakut-nakuti kita semua. "Oh, seraaam."

Tidak ada komentar:

Posting Komentar